Senin, 20 Desember 2010

Tarawangsa


       Dperkirakan usia kesenian Tarawangsa ini muncul semeniak dinasti Mataram pertama. Terlihat dari tata urutan ritualnya sampai sekarang masih mengandung na-pas-napas hhiduisme. Bukti lain-nya yang memperkuat bahwa Ta­rawangsa ada kaitannya dengan histons Mataram kuno, di daerah Rancakalong Sumedang ada jenis padi namanya mataram (warnanya merah) dan ada salah satu lagu bu-hunnya berjudul mataraman.

       Seni Tarawangsa ini menurut ca-tatan geografis budaya tersebar di daeran Sumedang, Ciamis, Tasik, Subang, Purwakarta dan Bandung. Tetapi ada perbedaannya antara satu dengan yanglainnya. Misal-nya untuk daerah Banjaran dengan Rancakalong, di daerah Banjaran lagu buhunnya ada yang berjudul Pupuyuhan, Bojong Kaso, dan Cukleuk, tetapi untuk lagu La­layaran dan Bangbalikan tidak di-miliki oleh daeran Banjaran.

     Secara unium fungsi ritual, seni Tarawangsa ini khusus untuk peng­hormatan kepada Dewi Sri (Nyi Pohaci), terutama untuk menandai acara penuaian padi. Ini memang terbukti dalam sesajennya ada sa­lah satu perwujudan Dewi Sri yang seolah dihentuk menyerupai orang-orangan dari geugeusan pa­di dan diberi topeng, namanya ibu. Juga ada sejenis sesajen bernama Ineban. Ineban ini padi dalam ran-tang dengan dilindungi selendang kain tenun asli. Yang menitip Ineb­an itu biasanya para tetangga dekat si hajat, sebab ada anggapan padi Ineban itu baik sekali untuk dijadi-kan benih. Lainnya masalah sesa­jen sama dengan acara ritual lain, misalnya digelar beberapa pangra^ dinan (sesaien), seperti sejumlah makanan khas Sunda, rurujakan, kupat, leupeut, bubur, tangtang angin, buah-buahan, umbi-umbian, tumpeng dan bakakak. Kelak sesajen ini untuk penabuh Tarawangsa selain upah berupa uang.

Urutan Ritualnya

      Karena fungsi ritual Tarawangsa untuk penghormatan kepada Dewi Sri, maka dalam urutan ritualnya juga tidak jauh dari masalah padi. Secara kronologis ritual Tarawang­sa dimulai dengan acara ngalung­surkeun oleh lagu pengapungan dari goah (kamar keramat) ke are­na kaul. Ngalungsurkeun mi acara menurunkan Ineban, ibu (perwu-dudan Dewi Sri), seperangkat pu-saka untuk acara ibing, dan kendi yang sudah diberi tangkai han-juang. Sudah menjadi pakem tradi-si Tarawangsa, iring-iringan nga-lungsurkeun di arena kauiarahnya ngahuntu kala (searah dengan ja-rum jam). Yang memimpin acara ini seorang laki-laki yang disepuh-keun atau namanya saehu. Adapun yang diperbolehkan menari pada acara ngalufigsurkeun hanya can-doli saja. Candoli itu saehu wanita penjagagoa/i selama hajatan. Aca­ra ngalungsurkeun ini berakhir me­nurut Irama Jentreng (Tarawang­sa) dan kelak semua yang dilung-surkeun (diturunkan) akan disim-pan dengan sesajen yang sudah ter-lebih dahulu digelar.

         Setelah selesai acara ngalungsur­keun, disambung dengan acara ibing khusus kaum wanita, yang memimpinnya saehu wanita (can-doli). Dalam ibingan ini ada suatu bentuk, Ibing Lalayaran. Simbol ibing lalayaran ini, di dalam kehi-dupan masyarakat kita saling ke-tergantungan. Maka diisyaratkan dalam acara ini barter uang dan pakaian, juga perhiasan. Usai kaum wanita semua kaul, menje-lang malamnya diadakan acara sa-ripohaci, atau mengalap kharisma Dewi Sri. Saripohaci ini sejenis sa-wer dengan memerciki air dari bo-kor oleh tektek (Daun sirih) ke se-gala arah. Bagi yang kejatuhan tek­tek, harus dikunyan (diseupah).

           Selesai kaul wanita, disambung dengan acara kaul laki-laki. Dalam kaullaki-laki sering diadakan aca­ra badud, bahkan tidak mustahil ada yang kesurupan (kemasukari arwan). Usai kaum laki-laki kaul, menjeiang (subuh) diadakan acara nginebkeun, yaitu menyimpan lag] alat-alat yang diturunkan waktii acara ngalungsurkeun. Setelah ngi­nebkeun, selesailah semua acara.

Waditra Tarawangsa

   Waditra Tarawangsa terdiri dari dua, satu Tarawangsa (seperti re-bab) dan satunya lagi kecapi. Un­tuk daerahjlancakalong dawai Ta­rawangsa nany a dua buah, dan da­wai kecapi tujuh buah. Alat keset (strijkston) sama seperti alat keset rebab, terbuat dari benang kenur halus. Dulu memang terbuat dari serat pandan atau serat haramay, tetapi rapuh sekali digantilah de­ngan banan plastik. Di daerah Rancakalong menurut pengamat seni, katanya laras Tarawangsa sa-ngat murni diatonik.

   Penabuh Tarawangsa hanya dua orang, seorang pengeset dan seor-angnya lagi pemetik kecapi. Bahan untuk waditra Tarawangsa dahulu dibuat dari pohon kembang cem-paka warna, karena sekarang po­hon itu sudah langka maka bisa sa­ja digantikan oleh pohon lain yang keras dan tahan hama toko, sema-cam pohon jengkol. Laras musik Tarawangsa di Kabupaten Sume­dang, yaitu Laras Pelog. Untuk daerah lain ada juga yang larasnya salendro.

Historisnya

          Boleh jadi bentuk kesenian yang paling tua dan paling digeman ma-syaralfcat dan generasi mudanya sampai sekarang hanya Tarawang­sa. Perkembangannya pun sangat pesat, dan mampu merambah ka-wasan elite, bahkan mampu men-jangkau lingkungan kampus, Ini sebuah kegembiraan, walaupun peradaban telah menyeret banyak kemajuan, seni Tarawangsa mam­pu bertahan, dan memiliki prospek yang cerah. Tidak seperti kesenian lain oanyak kasili kujunti, kapurba ku alam.

         Menurut ulasan dongengnya da­ri mulut ke mulut orang tua dahu­lu, terjadinya seni Tarawangsa itu diawali dan keiadiafl kesengsaraan masyarakat babakan suku Gunung Cupu (Rancakalong sekarang). Dahulu katanya orang-orang Babakan Gunung Cupu dilanda kekeringan akibat kemarau pan-jang, tentu mengakibatkan orang-orang kesusahan. Waktu itu di dae-
"ah Rancakalong dahulu hanya ada .anaman gandum, jagung dan haje-li. Bahkan tanaman hajeli sempat mencelakakan anak kecil tengge-lam di tumpukan hajeli di sebuah lumbung (leuit).

         Akhirnya kelaparan terjadi, se­mua rakyat banyak yang mati. Tentu kepala suku yang bernama Wisanagara (makamnya masih ada) langsung berembuk dengan masyarakatnya. Pada suatu hari mendapat kabar dari seorang sau-dagar bernama Riguna, bahwa katanya di negeri Mataram ada se­jenis tanaman yang mudah dita-
nam dan diolah, namanya Dewi Sri (pare). Tanpa berpikir panjang la­gi, Wisanagara ditemani Suranim-bang (makamnya masih ada) ber-angkat ke Mataram. Sampai di sa-na Darter dengan uang. Tetapi mal-angnya di perjalanan dicegat ka-raman (garong). Bahkan kejadian perampasan itu sempat berkali-kali dan Wisanagara tak pernah berhasil lolos.
Untuk menangani masalah itu, mereka berembuk kembali. Da-tanglah sebuah ide, katanya harus membuat alat seni dari bambu de­ngan digesek oleh serat ekor kuda.

       Ruas bambu itu dilowongkan un­tuk menyembunyikan benih padi. Ternyata berhasil garong-garong itu dikecoh oleh seni Tarawangsa. Begitu kira-kira dongengnya. Seni Tarawangsa itu terus digelar-kan, bahkan menyebar. Hanya ti­dak lagi berupa bambu, tetapi diis: timewakan bahannya terbuat dari kayu. Malahan setelah kesenian Sunda semakin berkembang, Tara­wangsa ditambah kecapi untuk la-rasannya agar lebih enak dipakai mengiringi tarian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar