Senin, 20 Desember 2010

Terusan Yang Tadi


Kerajaan Tembong Agung yang pusat Pemerintahannya di Leuwi Hideung (Ds. Leuwi, Hideung Kc. Darmaraja) masa itu berada di bawah kekuasaan Prabu Guru Aji Putih (1472 M - 1482 M) merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Di kampung Kondang, Desa Muhara/Leuwi Hideung kecamatan Darmaraja dapat ditemukan petilasan Kerajaan Tembong Agung, berupa pohon Kiara Bunut.
Konon pohon ini terletak di tengah Alun-alun Kerajaan dan diperkirakan telah berusia 600 tahun.

Prabu Tajimalela

Pada suatu ketika telah terjadi suatu keajaiban alam selama tiga hari tiga malam disekitar Kerajaan Tembong Agung. Langit menjadi terang benderang seperti taji yang melengkung bagai malela (selendang). Pada saat itulah Prabu Tajimalela mengucapkan kata-kata :

INSUN MADANG yang berarti AKU TERANG"

atau
"INSUN MEDAL yang berarti AKU TERBIT"
Disinilah beliau mengajarkan Ilmu Kasumedangan yang berisi 33 Pasal, dimana kemudian hari ilmu ini menjadi falsafah turun temurun bagi kerajaan Sumedang Larang
Peninggalan dari Prabu Tajimalela adalah situs batuan menhir yang terdapat dipuncak Gunung Lingga, desa Cimarga, kecamatan Darmaraja. Di tempat ini Prabu Tajimalela NGAHYANG atau menghilang setelah takhta kerajaan Sumedang Larang diwariskan kepada putranya yang bernama Prabu Gajah Agung.

Sumedang Larang

Seorang resi keturunan dari Galuh datang ke sebuah kawasan di pinggiran sungai Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang sekarang. Kehadiran Resi yang bernama Prabu Guru Aji Putih ini, membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat, yaitu telah ada dan dirintisoleh Prabu Agung Cakrabuana sejak abada ke delapan.
Secara perlahan-lahan dusun-dusun sekitar pinggiran sungai Cimanuk diikat oleh struktur pemerintahan dan kemasyarakatan. hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan tersebut di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih berputra Prabu Tajimalela. Menurut perbandingan generasi, dalam kropak 410, Prabu Tajimalela sejaman dengan tokoh Rgamulya (1340 - 1350) penguasa Kawali dan tokoh Suradewata, Ayahanda Batara Gunung bitung Majalengka.
Prabu Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Menurut Cerita rakyat, kepemimpinan Prabu Tajimalela sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).
Pada masa kekuasaan pernah terjadi pemberontakan disekitar Gunung Cakrabuana yang dilakukan oleh Gagak Sangkur. Terjadilah perang sengit antara wadia balad Gagak Sangkur dengan Prabu Tajimalela dengan kemenangan di pihak Prabu Tajimalela dan Gagak Sangkur dapat ditaklukan.
Gagak Sangkur menyatakan ingn mengabdi kepada Prabu Tajimalela. Kemudian dilantik menjadi patih. Setelah itu, untuk menyempurnakan ilmunya Prabu Tajimalela meninggalkan Keraton untuk melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dan kukatan dari Yang Gaib, yang dikiaskan dalam ungkapan : Sideku sinuku tunggal mapat pancadria, diamparan boeh rarang, lelembutan ngajorang alam awang-awang, ngungsi angkeuhan nu can katimu.
Pada saat itulah kemudian ia tiba-tiba mengucapkan kata : Insun Medal Mandangan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang. Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh Prabu Gajah Agung, yang berkedudukan di pinggir kali Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan sehingga darah tersbut saat ini di kenal sebagai nama Ciguling termasuk wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Prabu Pagulingan digantikan oleh putranya dengan Sunan Guling. Beliau berputra bernama Ratnasih alias Nyi Rajamantri diperistri oleh Sribaduga Maharaja karena itu yang menggantikan Sunan Guling adalah adik Ratu Ratnasih bernama Mertalaya sebagai penguasa ke empat Sumedang Larang yang juga bergelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan putranya Tirta Kusumah yang dikenal dengan nama Sunan Patuakan. Kemudian digantikan oleh adiknya Sintawati atau lebih dikenal dengan Nyi Mas Patuakan. Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Gorenda, Raja Talaga putra Ratu Simbar Kecana dari Kusumalaya, putra Dea Biskala. Dengan demikian ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Gorenda mempunyai dua istri : Mayangsari Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang. Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling ini, Sunan Gorenda dikaruniai seorang putri bernama Setyasih, yang kemudian bergelar Ratu Pucuk Umum.
Ratu Pucuk Umum menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri putra Pangeran Palakaran, putra Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Perkawinan Ratu Setyasih dengan Pangeran Santri inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang.
Dari perkawinan dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum atau dikenal dengan nama Ratu Intan Dewata dikaruniai 6 (enam) orang putra, salah satunya Raden Angkawijaya, yang kemudian hari bergelar Prabu Guesan Ulun.
Pada 14 Syafar Tahun Jim Akhir kerajaan Padjajaran runtag (runtuh) akibat serangan laskar gabungan Islam Banten, Pangkungwati dan Angka. Runtuhnya Kerajaan Padjajaran waktu itu tidak lantas menyeret Sumedang Larang ikut runtuh pula, karena sebagai masyarakat Sumedang pada waktu itu sudah memeluk Islam. Dengan berakhirnya Kerajaan Sumedang, justru Sumedang Larang makin berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Padjajaran mengutus empat orang Kandagalante : Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot, dan Nagganan untuk menyerahkan amanat kepada Prabu Geusan Ulun, yaitu pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya menjadi penerus Kerajaan Padjajaran Mahkota dan atribut Kerajaan Padjajaran dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun yang merupakan legalitas kebesaran Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Padjajaran.
Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan pada 22 April 1578 adalah merupakan Raja Sumedang Larang terakhir, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah naungan Mataram. Pangeran Ariasuradiwangsa dari Sumedang Larang sebagai penerus Geusan Ulun (putra dari Ratu Harisbaya) 1620 berangkat ke Mataram, untuk menyerahkan Sumedang Larang berada dibawah naungan Mataram. Dengan demikian sejak itulah Sumeang Larang terkenal dengan nama "Priangan" artinya berserah dengan hati yang suci. Kedudukan penguasa Sumedang Larang menjadi Bupati Wedana.
Tahun 1681 Bupati Wedana Sumedang yaitu Pangeran Rangga Gempol III Kusumahdinata yang dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan adalah Bupati Pertama yang berani menentang pemerintahan VOC, agar kembali dari merdeka dan berdaulat untuk kemudian mempersatukan kembali daerah-daerah sebagian yang pernah dikuasai oleh Pakuan Padjajaran pada jamannya.
Tahun1811 Bupati Wedana Pangeran Kusumahdinata IX atau dikenal dengan Pangeran Kornel dengan tegas menentang kerja Rodi yang dilakukan oleh VOC (Kompeni) VOC saat itu di pimpin oleh Gubernur Jendral H.W Daendels. Kerja Rodi membuat jalan dan menelan banyak korban ini membuka sarana lalulintas Anyer-Panarukan untuk mengangkut rempah-rempah.

Peristiwa pembuatan jalan ini terkenal sebagai Peristiwa Cadas Pangeran
Tahun 1888 Bupati Pangeran Aria suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia/Nusantara.
Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: "Ditiung memeh Hujan"
Pada jaman perjuangan kemerdekaan Indonesia di Jawa Barat, sewaktu pasukan-pasukan Divisi Siliwangi kembali Hijrah, tepatnya pada tanggal 11 April 1949 terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah di Sumedang, di Kecamatan Buah Dua dan begitu juga di Kecamatan Situraja, pertempuran melawan tentara Belanda.
Pada era pembangunann mengisi kemerdekaan Indonesia tidak sedikit putra-putri Sumedang telah mengukir namanya dalam catatan tersendiri. Dari catatan tersebut Sumedang dapat disimpulkan sebagai kota yang menyimpan nilai sejarah bangsa dan tidak mustahil Sumedang akan terus melahirkan sejarah selanjutnya.

Kuda Renggong

Kuda Renggong

Kuda Renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Sumedang. Kata “renggong” di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (bahasa Sunda untuk “ketrampilan”) cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.

Sejarah

Menurut tuturan beberapa seniman, Kuda Renggong muncul pertama kali dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Di dalam perkembangannya Kuda Renggong mengalami perkembangan yang cukup baik, sehingga tersebar ke berbagai desa di beberapa kecamatan di luar Kecamatan Buah Dua. Dewasa ini, Kuda Renggong menyebar juga ke daerah lainnya di luar Kabupaten Sumedang.

Bentuk Kesenian

Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.

Dalam pertunjukannya, Kuda Renggong memiliki dua kategori bentuk pertunjukan, antara lain meliputi pertunjukan Kuda Renggong di desa dan pada festival.

Pertunjukan di pemukiman

Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.

Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.

Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.

Pertunjukan festival

Pertunjukan Kuda Renggong di Festival Kuda Renggong berbeda dengan pertunjukan keliling yang biasa dilakukan di desa-desa. Pertunjukan Kuda Renggong di festival Kuda Renggong, setiap tahunnya menunjukan peningkatan, baik jumlah peserta dari berbagai desa, juga peningkatan media pertunjukannya, asesorisnya, musiknya, dll. Sebagai catatan pengamatan, pertunjukan Kuda Renggong dalam sebuah festival biasanya para peserta lengkap dengan rombongannya masing-masing yang mewakili desa atau kecamatan se-Kabupaten Sumedang dikumpulkan di area awal keberangkatan, biasanya di jalan raya depan kantor Bupati, kemudian dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia (Diparda Sumedang). Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan Kuda Renggong.

Dari beberapa pertunjukan yang ditampilkan nampak upaya kreasi masing-masing rombongan, yang paling menonjol adalah adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat), pakaian anak sunat tidak lagi hanya tokoh Wayang Gatotkaca, tetapi dilengkapi dengan anak putri yang berpakaian seperti putri Cinderella dalam dongeng-dongeng Barat. Penambahan asesoris Kuda, dengan berbagai warna dan payet-payet yang meriah keemasan, payung-payung kebesaran, tarian para pengiring yang ditata, musik pengiring yang berbeda-beda, tidak lagi Kendang Penca, tetapi Bajidoran, Tanjidor, Dangdutan, dll. Demikian juga dengan lagu-lagunya, selain yang biasa mereka bawakan di desanya masing-masing, sering ditambahkan dengan lagu-lagu dangdutan yang sedang popular, seperti Goyang Dombret, Pemuda Idaman, Mimpi Buruk, dll. Setelah berkeliling kembali ke titik keberangkatan.

Perkembangan

Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, terompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speakrer toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih “canggih” dengan penambahan peralatan musik terompet Brass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.

Makna

Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya

* Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;
* Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;
* Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;
* Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.

Tarawangsa


       Dperkirakan usia kesenian Tarawangsa ini muncul semeniak dinasti Mataram pertama. Terlihat dari tata urutan ritualnya sampai sekarang masih mengandung na-pas-napas hhiduisme. Bukti lain-nya yang memperkuat bahwa Ta­rawangsa ada kaitannya dengan histons Mataram kuno, di daerah Rancakalong Sumedang ada jenis padi namanya mataram (warnanya merah) dan ada salah satu lagu bu-hunnya berjudul mataraman.

       Seni Tarawangsa ini menurut ca-tatan geografis budaya tersebar di daeran Sumedang, Ciamis, Tasik, Subang, Purwakarta dan Bandung. Tetapi ada perbedaannya antara satu dengan yanglainnya. Misal-nya untuk daerah Banjaran dengan Rancakalong, di daerah Banjaran lagu buhunnya ada yang berjudul Pupuyuhan, Bojong Kaso, dan Cukleuk, tetapi untuk lagu La­layaran dan Bangbalikan tidak di-miliki oleh daeran Banjaran.

     Secara unium fungsi ritual, seni Tarawangsa ini khusus untuk peng­hormatan kepada Dewi Sri (Nyi Pohaci), terutama untuk menandai acara penuaian padi. Ini memang terbukti dalam sesajennya ada sa­lah satu perwujudan Dewi Sri yang seolah dihentuk menyerupai orang-orangan dari geugeusan pa­di dan diberi topeng, namanya ibu. Juga ada sejenis sesajen bernama Ineban. Ineban ini padi dalam ran-tang dengan dilindungi selendang kain tenun asli. Yang menitip Ineb­an itu biasanya para tetangga dekat si hajat, sebab ada anggapan padi Ineban itu baik sekali untuk dijadi-kan benih. Lainnya masalah sesa­jen sama dengan acara ritual lain, misalnya digelar beberapa pangra^ dinan (sesaien), seperti sejumlah makanan khas Sunda, rurujakan, kupat, leupeut, bubur, tangtang angin, buah-buahan, umbi-umbian, tumpeng dan bakakak. Kelak sesajen ini untuk penabuh Tarawangsa selain upah berupa uang.

Urutan Ritualnya

      Karena fungsi ritual Tarawangsa untuk penghormatan kepada Dewi Sri, maka dalam urutan ritualnya juga tidak jauh dari masalah padi. Secara kronologis ritual Tarawang­sa dimulai dengan acara ngalung­surkeun oleh lagu pengapungan dari goah (kamar keramat) ke are­na kaul. Ngalungsurkeun mi acara menurunkan Ineban, ibu (perwu-dudan Dewi Sri), seperangkat pu-saka untuk acara ibing, dan kendi yang sudah diberi tangkai han-juang. Sudah menjadi pakem tradi-si Tarawangsa, iring-iringan nga-lungsurkeun di arena kauiarahnya ngahuntu kala (searah dengan ja-rum jam). Yang memimpin acara ini seorang laki-laki yang disepuh-keun atau namanya saehu. Adapun yang diperbolehkan menari pada acara ngalufigsurkeun hanya can-doli saja. Candoli itu saehu wanita penjagagoa/i selama hajatan. Aca­ra ngalungsurkeun ini berakhir me­nurut Irama Jentreng (Tarawang­sa) dan kelak semua yang dilung-surkeun (diturunkan) akan disim-pan dengan sesajen yang sudah ter-lebih dahulu digelar.

         Setelah selesai acara ngalungsur­keun, disambung dengan acara ibing khusus kaum wanita, yang memimpinnya saehu wanita (can-doli). Dalam ibingan ini ada suatu bentuk, Ibing Lalayaran. Simbol ibing lalayaran ini, di dalam kehi-dupan masyarakat kita saling ke-tergantungan. Maka diisyaratkan dalam acara ini barter uang dan pakaian, juga perhiasan. Usai kaum wanita semua kaul, menje-lang malamnya diadakan acara sa-ripohaci, atau mengalap kharisma Dewi Sri. Saripohaci ini sejenis sa-wer dengan memerciki air dari bo-kor oleh tektek (Daun sirih) ke se-gala arah. Bagi yang kejatuhan tek­tek, harus dikunyan (diseupah).

           Selesai kaul wanita, disambung dengan acara kaul laki-laki. Dalam kaullaki-laki sering diadakan aca­ra badud, bahkan tidak mustahil ada yang kesurupan (kemasukari arwan). Usai kaum laki-laki kaul, menjeiang (subuh) diadakan acara nginebkeun, yaitu menyimpan lag] alat-alat yang diturunkan waktii acara ngalungsurkeun. Setelah ngi­nebkeun, selesailah semua acara.

Waditra Tarawangsa

   Waditra Tarawangsa terdiri dari dua, satu Tarawangsa (seperti re-bab) dan satunya lagi kecapi. Un­tuk daerahjlancakalong dawai Ta­rawangsa nany a dua buah, dan da­wai kecapi tujuh buah. Alat keset (strijkston) sama seperti alat keset rebab, terbuat dari benang kenur halus. Dulu memang terbuat dari serat pandan atau serat haramay, tetapi rapuh sekali digantilah de­ngan banan plastik. Di daerah Rancakalong menurut pengamat seni, katanya laras Tarawangsa sa-ngat murni diatonik.

   Penabuh Tarawangsa hanya dua orang, seorang pengeset dan seor-angnya lagi pemetik kecapi. Bahan untuk waditra Tarawangsa dahulu dibuat dari pohon kembang cem-paka warna, karena sekarang po­hon itu sudah langka maka bisa sa­ja digantikan oleh pohon lain yang keras dan tahan hama toko, sema-cam pohon jengkol. Laras musik Tarawangsa di Kabupaten Sume­dang, yaitu Laras Pelog. Untuk daerah lain ada juga yang larasnya salendro.

Historisnya

          Boleh jadi bentuk kesenian yang paling tua dan paling digeman ma-syaralfcat dan generasi mudanya sampai sekarang hanya Tarawang­sa. Perkembangannya pun sangat pesat, dan mampu merambah ka-wasan elite, bahkan mampu men-jangkau lingkungan kampus, Ini sebuah kegembiraan, walaupun peradaban telah menyeret banyak kemajuan, seni Tarawangsa mam­pu bertahan, dan memiliki prospek yang cerah. Tidak seperti kesenian lain oanyak kasili kujunti, kapurba ku alam.

         Menurut ulasan dongengnya da­ri mulut ke mulut orang tua dahu­lu, terjadinya seni Tarawangsa itu diawali dan keiadiafl kesengsaraan masyarakat babakan suku Gunung Cupu (Rancakalong sekarang). Dahulu katanya orang-orang Babakan Gunung Cupu dilanda kekeringan akibat kemarau pan-jang, tentu mengakibatkan orang-orang kesusahan. Waktu itu di dae-
"ah Rancakalong dahulu hanya ada .anaman gandum, jagung dan haje-li. Bahkan tanaman hajeli sempat mencelakakan anak kecil tengge-lam di tumpukan hajeli di sebuah lumbung (leuit).

         Akhirnya kelaparan terjadi, se­mua rakyat banyak yang mati. Tentu kepala suku yang bernama Wisanagara (makamnya masih ada) langsung berembuk dengan masyarakatnya. Pada suatu hari mendapat kabar dari seorang sau-dagar bernama Riguna, bahwa katanya di negeri Mataram ada se­jenis tanaman yang mudah dita-
nam dan diolah, namanya Dewi Sri (pare). Tanpa berpikir panjang la­gi, Wisanagara ditemani Suranim-bang (makamnya masih ada) ber-angkat ke Mataram. Sampai di sa-na Darter dengan uang. Tetapi mal-angnya di perjalanan dicegat ka-raman (garong). Bahkan kejadian perampasan itu sempat berkali-kali dan Wisanagara tak pernah berhasil lolos.
Untuk menangani masalah itu, mereka berembuk kembali. Da-tanglah sebuah ide, katanya harus membuat alat seni dari bambu de­ngan digesek oleh serat ekor kuda.

       Ruas bambu itu dilowongkan un­tuk menyembunyikan benih padi. Ternyata berhasil garong-garong itu dikecoh oleh seni Tarawangsa. Begitu kira-kira dongengnya. Seni Tarawangsa itu terus digelar-kan, bahkan menyebar. Hanya ti­dak lagi berupa bambu, tetapi diis: timewakan bahannya terbuat dari kayu. Malahan setelah kesenian Sunda semakin berkembang, Tara­wangsa ditambah kecapi untuk la-rasannya agar lebih enak dipakai mengiringi tarian.